Keraton Kasepuhan sebagai keraton termegah dan paling terawat di Cirebon. Makna setiap sudut arsitektur keraton ini juga populer paling bersejarah. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan ada pendopo di dalamnya.
Keraton Kasepuhan sebagai kerajaan islam tempat beberapa pendiri cirebon bertahta, disini pusat pemerintah Kasultanan Cirebon berdiri.
Tiket Masuk Keraton Kasepuhan Cirebon
Keraton ini mempunyai museum yang cukup lengkap dan memiliki dasarnya benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satunya koleksi yakni kereta Singa Barong yang disebut kereta kencana Sunan Gunung Jati. Kereta ini saat ini tak lagi dipakai dan cuma dikeluarkan pada setiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Anggota dalam keraton ini terbagi dalam yang dibangun khusus yang warna putih. Di dalamnya ada ruangan tamu, kamar tidur dan singgasana raja.
Sejarah Keraton Kasepuhan Cirebon
Keraton Kasepuhan dibangun di tahun 1452 oleh Pangeran Cakrabuana. Dia bersemayam di Dalem Luhur Pakungwati, Cirebon. Keraton Kasepuhan dahulunya namanya ‘Keraton Pakungwati. Sebutan Pakungwati datang dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Dia meninggal dunia di tahun 1549 dalam Masjid Luhur Si Cipta Rasa dalam umur yang paling tua. Nama dia didokumentasikan dan diagungkan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yakni Keraton Pakungwati yang saat ini bernama Keraton Kasepuhan.[1]
Di depan Keraton Kesepuhan ada alun-alun yang di saat jaman dulu namanya Alun-alun Sangkala Buana yang disebut tempat latihan keprajuritan yang diadakan di hari Sabtu atau istilahnya di saat itu sebagai Saptonan. Dan di alun-alun berikut dahulunya dikerjakan pentas perayaan Negara lalu sebagai tempat rakyat banyak yang datang ke alun-alun untuk penuhi panggilan atau dengarkan pengumuman dari Sultan. Di samping barat Keraton kasepuhan ada Mushola yang cukup istimewa hasil kreasi dari beberapa wali yakni Mushola Luhur Sang Cipta Rasa.
Dan di samping timur alun-alun dulunya sebagai tempat ekonomi yakni pasar — saat ini sebagai pasar kesepuhan yang paling populer dengan pocinya. Mode bentuk Keraton yang menghadap utara sama yang dibangun Masjid di samping barat dan pasar di samping timur dan alun-alun salah satunya sebagai model-model Keraton pada periode itu khususnya yang berada di wilayah pesisir. Bahkan juga sampai saat ini, model ini jumlah dibarengi oleh semua kabupaten/kota khususnya di Jawa yakni di muka gedung pemerintah ada alun-alun dan di samping baratnya ada masjid.
Saat sebelum masuk gerbang komplek Keraton Kasepuhan ada dua buah pendopo, di samping barat dikata Pancaratna yang dulunya sebagai tempat berkumpulnya beberapa punggawa Keraton, lurah atau pada jaman saat ini dikata pamong praja. Dan pendopo samping timur dikata Pancaniti yang disebut tempat beberapa perwira keraton saat diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun.
Memasuki jalan kompleks Keraton di samping kiri ada yang dibangun yang cukup tinggi dengan tembok bata kuat di sekitarnya. Yang dibangun ini namanya Siti Inggil atau dengan bahasa Cirebon setiap harinya sebagai lemah duwur yakni tanah yang tinggi. Sesuai namanya yang dibangun ini tinggi dan terlihat seperti kompleks candi pada zaman Majapahit. Yang dibangun ini dibangun di tahun 1529, pada periode pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Di pelataran depan Siti Inggil ada meja batu berpotongan sektor empat tempat santai. Yang dibangun ini sebagai yang dibangun tambahan yang dibikin di tahun 1800-an. Siti Inggil mempunyai dua gapura dengan pola bentar berpenampilan arsitek jaman Majapahit. Di samping utara namanya Gapura Adi dan di samping selatan namanya Gapura Banteng. Di bawah Gapura Banteng ini ada Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang bila diartikan sebagai tahun 1451.
Saka yang disebut tahun pembuatannya (1451 saka = 1529 M). Tembok anggota utara komplek Siti Inggil sedang asli dan samping selatan sudah pernah alami pemugaran/renovasi. Pada dinding tembok kompleks Siti Inggil ada piring-piring dan porslen-porslen yang dari Eropa dan negeri Cina dengan tahun pembuatan 1745 M.
Dalam kompleks Siti Inggil ada 5 yang dibangun tanpa dinding yang mempunyai nama dan peranan tertentu. Yang dibangun khusus yang berada di tengah namanya Malang Semirang dalam jumlah tiang khusus 6 buah yang menyimbolkan rukun iman apabila dijumlahkan keseluruhnya tiangnya sejumlah 20 buah yang menyimbolkan 20 sifat-sifat Allah SWT. Yang dibangun ini sebagai tempat sultan menyaksikan latihan keprajuritan atau menyaksikan pelaksanaan hukuman.
Yang dibangun di samping kiri yang dibangun khusus namanya Pendawa Lima dalam jumlah tiang penyangga 5 buah yang menyimbolkan rukun islam. Yang dibangun ini tempat beberapa pengawal individu sultan. Yang dibangun di samping kanan yang dibangun khusus namanya Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang melambangkan Dua Kalimat Syahadat. Yang dibangun ini sebagai tempat penasehat Sultan/Penghulu.
Ada di belakang yang dibangun khusus bernama Mande Pangiring yang disebut tempat beberapa pengiring Sultan, dan yang dibangun disamping mande pangiring sebagai Mande Karasemen, tempat ini sebagai tempat pendamping tetabuhan/gamelan. Di yang dibangun berikut sampai saat ini sedang dipakai untuk membunyikan Gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini cuma dibunyikan 2 kali dalam satu tahun yakni pada saat Idul Fitri dan Idul Adha.
Selainnya 5 yang dibangun tanpa dinding ada seperti tugu batu yang namanya Lingga Yoni yang disebut lambang dari kesuburan. Lingga memiliki arti lelaki dan Yoni memiliki arti wanita. Yang dibangun ini datang dari adat Hindu, dan di atas tembok sekitar kompleks Siti Inggil ini ada Candi Laras untuk penyelaras dari kompleks Siti Inggil ini.
Riwayat
- Sunan Gunung Jati (Syarief Hidayatullah)
- P. Raja muda Pasarean (P. Muhammad Arifin)
- P. Dipati Carbon (P. Sedang Kamuning)
- Panembahan Ratu Pakungwati I (P. Emas Zainul Arifin)
- P. Dipati Carbon II (P. Sedang Gayam)
- Panembahan Ratu Pakungwati II (Panembahan Girilaya)
- P. Syamsudin Martawidjaja (Sultan Sepuh I)
- P. Djamaludin (Sultan Sepuh II)
- P. Djaenudin Amir Sena I (Sultan Sepuh III)
- P. Djaenudin Amir Sena II (Sultan Sepuh IV)
- P. Sjafiudin/Sultan Matangadji (Sultan Sepuh V)
- P. Hasanuddin (Sultan Sepuh VI)
- P. Djoharudin (Sultan Sepuh VII)
- P. Radja Udaka (Sultan Sepuh VIII)
- P. Radja Sulaeman (Sultan Sepuh IX)
- P. Radja Atmadja (Sultan Sepuh X)
- P. Radja Aluda Tajul Arifin (Sultan Sepuh XI)
- P. Radja Radjaningrat (Sultan Sepuh XII)
- P.R.A.DR.H. Maulana Pakuningrat. SH (Sultan Sepuh XIII)
- P.R.A Arief Natadiningrat. SE (Sultan Sepuh XIV)